Powered By Blogger

Kamis, 19 Januari 2012

BENCANA DAN ILMU TITEN


AWAL tahun 2012 ini Indonesia memasuki fase teror bencana alam. Intensitas guyuran hujan telah mencapai masa-masa puncaknya. Satu hal yang perlu diwaspadai adalah ancaman banjir. Sepanjang tahun 2011 lalu, bencana alam berupa banjir dan tanah longsor menjadi panorama yang tidak bisa dielakkan. Memasuki tahun ini hal serupa juga terjadi. Musibah banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Beberapa pekan terakhir luapan Bengawan Solo telah ”menenggelamkan” Kota Solo. Tidak hanya itu, di Jawa Timur, akibat aliran anak sungai Bengawan Solo juga telah merendam Bojonegoro. 

Kejadian sama juga terjadi Jogjakarta, ditambah tanah longsor di Gunung Kidul dan Kulonprogo. Di Jawa Barat, melubernya air akibat hujan deras juga telah menghanyutkan perumahan penduduk. Begitu halnya ibu kota Jakarta, seolah tidak pernah absen pula dari kunjungan wabah banjir. Sekilas, beberapa kota-kota di atas, rata-rata adalah kota yang selalu menjadi langgganan banjir tiap tahunnya.
Genangan banjir yang belakangan ini ”menenggelamkan” beberapa bagian wilayah di Indonesia setidaknya menjadi contoh bagaimana respon pemerintah dan masyarakat setempat semestinya harus bersikap. Banjir dan tanah longsor, erat kaitannya dengan gerak alam. Alam sebagai bagian kehidupan makrokosmos memiliki rotasi atau siklusnya demi menjaga kestabilan bumi.
Orang Jawa menyadari betapa hidupnya sangat bergantung pada alam. Dalam kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi kediaman manusia dan alam di balik realitas empiris atau metaempiris. Alam empiris selalu berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris dipengaruhi oleh alam metaempiris (Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, 2001). Dari situlah antara manusia dan alam memiliki sebuah relasi yang kasat mata.
Alam akan selalu menyiratkan sebuah tanda, dan isyarat (tanda) itulah secara cerdas harus mampu ditangkap oleh manusia. Sebagai contoh, ketika di langit awan mendung begitu pekat, itu pertanda akan turun hujan lebat. Kepekaan terhadap pertanda-pertanda inilah yang oleh masyarakat Jawa sekarang sudah mulai hilang. Insting dan nalar berinteraksi dengan alam kian memudar. Bahkan khazanah ilmu titen yang menjadi flatform masyarakat Jawa mengalami fosilisasi. Ini artinya, kekayaan pengetahuan dalam memahami alam, tak ubahnya sebagai dongeng adiluhung yang sebatas piwulang ansich, tanpa mampu mengimplementasikannya.
Padahal, falsafah bersahabat dan berinteraksi dengan alam sesungguhnya memiliki dampak positif yang luar biasa. Samin Surosentiko, pendiri komunitas wong sikep, memiliki falsafah hidup harmoni alam. sebuah relasi hubungan alam dengan manusia dengan jalan menjaga keseimbangan kehidupan di bumi. Samin Surosentiko mencetuskan falsafah tersebut tidak lepas dari interaksinya dengan alam, melalui konsep niteni (mengamati) yang bertahun-bertahun lamanya. Dalam masyarakat Jawa sendiri metodologi semacam ini telah menghasilkan banyak rumusan-rumusan besar seperti hitungan pasaran, weton, dan bahkan ilmu berbintangan.
Penemuan besar ini secara mengejutkan mampu menjawab tantangan zaman dan alam. Ironisnya, penemuan yang begitu empirik dan ilmiah ini sering disebut sebagai ramalan. Tak ayal, ilmu titen yang telah melahirkan rumus-rumus astronomi itu perlahan diabaikan. Para ilmuwan dalam negeri sendiri pun tidak mampu mendaur ulang penemuan leluhur itu menjadi hasil penemuan yang spektakuler. Sebaliknya, hasil kebudayaan yang begitu menakjubkan itu, justru dengan sengaja difosilisasikan. Istilah ”fosilisasi kebudayaan” ini sebenarnya pernah dipopulerkan oleh Arthur Asa Berger dalam menjelaskan sebuah produk kebudayaan yang sengaja ingin dilenyapkan (dihilangkan).
Terlepas dari hal itu, penemuan-penemuan besar yang dihasilkan dari ilmu titen sebenarnya telah mampu diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi di masyakat Jawa. Ilmu titen yang merupakan sebuah metode pengamatan secara detail yang digunakan orang Jawa dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan alam, lambat laun mengalami kemandegan pada proses pendaur ulangan oleh generasi selanjutnya. Selain itu, hadirnya berbagai produk-produk kebudayaan dari luar, telah menganaktirikan kebudayaannya sendiri.
Dalam filsafat barat, ilmu titen sama halnya dengan metode empiris. Secara metodologis, ilmu titen yang dimiliki dan dikuasai masyarakat Jawa dulu sangatlah ilmiah. Namun seiring ketidakmampuan generasi dalam merasionalkan ilmu yang berdasarkan pengataman berpuluh-puluh tahun itu, akhirnya dikait-kaitkan dengan ramalan, klenik, dan sejenisnya. Inilah yang dikatan oleh C. A. Van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan dengan istilah mitos. Bagi Peursen, mitos hadir dalam masyarakat lantaran ketidakmampuan akal manusia dalam merasionalkan sebuah realitas yang ada.
Naasnya, khazanah dan kearifan tentang interaksi dengan alam justru kini telah raib. Kebudayaan yang begitu brilian dihapuskan dan dianggap kuno, tidak masuk akal. Alhasil, ketika alam memberikan sebuah isyarat, manusia sekarang tidak mampu menangkapnya, sehingga bencana dan kerusakan seolah tidak bisa ditanggulangi. Persoalan banjir yang melanda Jakarta dan kota-kota lainnya, sebenarnya bukanlah masalah tata ruang kotanya, melainkan terletak pada kepedulian dan kedisiplinan masyarakatnya dalam menjaga stabilitas alam dan lingkungan yang begitu rendah. Namun, rupanya kita gagal mengoreksi pengetahuan mengenai air, alam, dan lingkungan dengan perilaku kita sendiri. Jangan-jangan dalam ranah ini yang diperlukan adalah ”melek” air (water literacy) yang lebih tinggi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar